Menjawab tantangan membangun LMS dengan biaya semurah mungkin (di bawah Rp 328.000/bulan).
Moodle bukan Wordpress. Wordpress bisa dipasang di shared web hosting, tapi Moodle minimal harus dipasang pada VPS. Syukur-syukur Dedicated Server.
Berbicara tentang VPS, di kepala kita langsung terlintas momok menakutkan: Biaya mahal. Betul. Tarif VPS yang ideal untuk Moodle rata-rata Rp 500.000-an. Beberapa sekolah besar menganggarkan Rp 2 juta/bulan, dan untuk kegiatan sebesar PAS/PAT biayanya bisa mencapai Rp 2½ juta/bulan!
Nah, pada server ini, saya mencoba membangun LMS Moodle dengan biaya serendah mungkin, yaitu € 21.46/bulan atau sekitar Rp 327.469/bulan (kurs tanggal 1 Agustus 2022). Ini untuk pemakaian sehari-hari. Pada Ulangan Umum (PTS/PAS), digunakan VPS yang lebih baik. Biaya sekitar Rp 500.000/bulan.
Saya memakai dua VPS dengan total 8 vCPU (shared) dan RAM 16 GB. Disk SSD 400 GB dan NVMe 100 GB.
Lokasi data center di Singapura sehingga kecepatan akses nyaris sama dengan
data center di Jakarta.
Total users pada tanggal 1 Agustus 2022 adalah 2840 (pendidik + peserta didik).
Lho, kok kuat? Rahasianya adalah selain karena optimasi yang semaksimal mungkin,
juga karena dalam pemakaian sehari-hari, kebanyakan users membuka Moodle hanya untuk
membaca materi dan mengunggah tugas (assignment). Memang sih ada beberapa kelas yang
melakukan ulangan harian. Tapi tidak serentak. Biasanya persekolah hanya 2 sampai 4 kelas saja.
Sedangkan untuk ulangan umum biayanya sekitar Rp 500.000-an, yang bisa digunakan oleh 1000-1500 users secara serentak.
Mawan A. Nugroho, M.Kom ✅
Kantor:Saya juga telah membuat beberapa artikel tentang Moodle. Salah satunya di blog pribadi saya yang beralamat di Mawan.NET dan Mawan.ID
Mari memakai Moodle. Moodle adalah perangkat lunak open source yang dipakai oleh ratusan perguruan tinggi terkemuka di Dunia. Lebih stabil, lebih kaya fitur.
Oleh: Mawan A. Nugroho, M.Kom
Tanggal: 27 November 2021
Wabah Covid-19 memang menimbulkan kerusakan dan kematian. Namun ada perubahan positif yang diakibatkan secara langsung maupun tidak langsung oleh Covid-19, misalnya keran air untuk cuci tangan menjadi lebih mudah ditemukan. Kendaraan umum pun menjadi lebih bersih dari asap rokok karena semua penumpangnya memakai masker. Belum lagi sekolah, guru, dan pelajar yang dipaksa harus memakai internet untuk sarana pembelajaran selama belajar jarak jauh (Belajar di Rumah).
Dulu, mungkin ada guru yang hampir tidak pernah menyentuh laptop. Laptop disentuh ketika membuat RPP atau mengisi nilai rapor. Tapi kini, coba tunjukkan guru yang tidak kenal Zoom. Hampir seluruhnya kenal, bahkan setidaknya pernah sekali mengajar memakai Zoom. Sedangkan untuk LMS (Learning Management System), terjadi 2 kubu besar, yaitu kubu pengguna Google Classroom vs kubu pengguna Moodle.
Keunggulan Google Classroom (GCR) adalah sekolah tidak perlu menyediakan server. Guru-guru silakan membuat sendiri kelasnya masing-masing di servernya Google yang gratis. Sekolah cukup menyediakan wifi. Penyedia internet yang menjadi favorit adalah Telkom Indihome.
Sedangkan sekolah yang mempunyai guru komputer berkemampuan di atas rata-rata, akan memilih memakai Moodle karena beberapa alasan yaitu:
Saya melihat, model terbaik untuk LMS dan CBT adalah diserahkan ke sekolah masing-masing, bukan terpusat. Ini bagus untuk keberlangsungan jangka panjang. Perawatan juga lebih mudah karena admin sekolah mempunyai kemampuan penuh menyentuh server bahkan sampai masuk ke command line sistem operasi.
Bila seluruh sekolah telah mempunyai server LMS masing-masing, maka bisa diadakan ujian bersama yang soalnya dibuat oleh MGMP, kemudian untuk menghindari kebocoran soal, soal-soal itu didistribusikan 10 menit menjelang jadwal ujian. Proses import soal hanya butuh waktu kurang dari 5 menit.
Pendistribusian server juga berarti menghindari kemacetan massal. Andaikan ada sekolah yang servernya crash karena memakai server berkualitas rendah, maka jalannya ujian yang terganggu hanya sekolah itu. Ini berbeda bila terpusat di mana bila server pusat macet, maka seluruh sekolah ikut terpengaruh.
Dokumentasi Moodle sangat melimpah. Sekolah yang ingin membangun LMS Moodle, bisa mempelajari dari YouTube, forum diskusi di web, maupun di media sosial (Facebook dan grup Telegram). Banyak sukarelawan dari seluruh penjuru Dunia yang siap membantu bila admin sekolah menemui masalah.
Tidak seperti Google Classroom yang bisa langsung dipakai, Moodle harus diinstall dulu. Masalahnya, tidak semua guru bisa menginstall Moodle. Kalau pun ada guru yang bisa menginstall, belum tentu Moodle-nya bisa diakses oleh ribuan peserta didik. Saya sering menemui keluhan tentang Moodle yang hanya bisa diakses 300-an siswa saja, padahal menggunakan server yang dibeli dengan harga puluhan juta rupiah.
Bila hanya menginstall Apache/Nginx, MySQL/MariaDB, dan PHP, semua pelajar SMK jurusan TKJ pun bisa. Tapi untuk optimasi dan setting yang benar, butuh pengalaman dan kecerdikan tersendiri. Harus rajin membaca buku manual tiap software, dan harus rajin membaca forum diskusi.
Dari kendala seperti inilah, akhirnya muncul perusahaan-perusahaan yang mengkhususkan diri menyediakan server Moodle. Sekolah cukup membayar. Sisanya tim IT mereka yang mengerjakan setup sampai optimal. Tentu saja dengan biaya mahal, karena mereka memakai jasa profesional yang digaji khusus untuk itu. Sedangkan saya sudah punya penghasilan dari profesi saya sebagai guru SMK. Setting Moodle adalah hobby. Kalau mau ngasih sebungkus kopi dan pisang goreng, ya Alhamdulillah. Tujuan utama saya adalah mendapat teman-teman baru dari sekolah lain, dan membantu sebanyak mungkin sekolah memakai Moodle untuk LMS atau CBT baik online maupun offline.
CPU Model: AMD EPYC 7282 16-Core Processor | CPU Cores: 4 |
CPU Frequency: 2794.748 MHz | CPU Cache: 512 KB | RAM: 8 GB
Load average: 1.52 1.15 1.04
| © Mawan A. Nugroho. All rights reserved.